Berita & Artikel

Sharing Session Materi Kepemimpinan Plantation Leadership Development Program (PLDP 3) oleh Dian Yanuar Roffanna, S.Psi., M.Psi., Psikolog, CCCP

Dalam dunia yang semakin tidak menentu dan penuh tantangan, seorang pemimpin dituntut untuk mampu menavigasi ketidakpastian dan kompleksitas zaman. Era yang dikenal sebagai VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) memaksa para pemimpin untuk tidak hanya bereaksi, tetapi juga mampu memproyeksikan masa depan melalui futures thinking, yakni kemampuan berpikir strategis lintas waktu. Dalam konteks inilah kepemimpinan menjadi keterampilan kunci yang bukan hanya ditentukan oleh kekuasaan, tetapi oleh visi, empati, dan ketangguhan dalam menghadapi perubahan.

Pemimpin yang tangguh harus memahami bahwa perusahaan dan organisasi memiliki siklus kehidupan yang harus dikelola secara adaptif. Ketika perusahaan menghadapi masa transformasi atau krisis, diperlukan inisiatif strategis, sinergi manajerial, serta perencanaan yang matang agar mampu bertahan dan terus berkembang.

Dalam menjalankan perannya, pemimpin bukan hanya tentang posisi atau jabatan, melainkan kemampuan untuk memengaruhi orang lain agar bersedia bekerja keras dengan penuh kesadaran demi mencapai tujuan bersama. Definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli seperti George Terry, Koontz & O’Donnell, serta Tannenbaum menggarisbawahi pentingnya pengaruh interpersonal dan komunikasi yang efektif dalam mewujudkan kepemimpinan yang berhasil.

Gaya kepemimpinan menjadi alat penting yang harus dipilih dan diterapkan sesuai konteks. Daniel Goleman mengidentifikasi enam gaya kepemimpinan: coercive, authoritative, affiliative, democratic, pacesetting, dan coaching. Pemimpin yang efektif tidak terpaku pada satu gaya saja, tetapi mampu mengombinasikan berbagai gaya sesuai kebutuhan situasi dan kondisi timnya. Gaya authoritative, democratic, affiliative, dan coaching terbukti memiliki dampak paling positif terhadap iklim kerja dan kinerja organisasi.

Namun, gaya saja tidak cukup. Kecerdasan emosional menjadi pondasi penting dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memiliki kesadaran diri untuk memahami emosi pribadinya, kemampuan mengelola diri secara sehat, kepekaan sosial terhadap orang lain, serta keterampilan sosial untuk memimpin dengan inspirasi dan pengaruh.

Kepemimpinan yang efektif dicirikan oleh tiga hal utama: fleksibilitas dalam gaya, kecerdasan emosional yang tinggi, dan kemampuan menciptakan iklim kerja yang positif. Ketiganya saling terhubung dan menentukan sejauh mana pemimpin mampu menggerakkan organisasi ke arah yang lebih baik.

Dalam salah satu ilustrasi, diceritakan kisah inspiratif dari tiga putra raja Suku Dani yang ditugaskan mendaki Gunung Jayawijaya. Dua putra membawa harta dan benda berharga dari puncak gunung, sementara putra ketiga kembali tanpa membawa apapun, tetapi menyampaikan potensi besar yang ia lihat di balik gunung. Sang raja memilih putra ketiga sebagai penerus karena ia memiliki visi jauh ke depan, bukan sekadar membawa hasil instan. Cerita ini menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki pandangan jangka panjang dan mampu melihat peluang di balik tantangan.

Untuk menjadi pemimpin yang terus berkembang, ada sepuluh cara utama yang harus dijalani. Mulai dari memiliki tujuan jelas, membangun kepercayaan, menciptakan perubahan positif, bersikap optimis, memprioritaskan pengembangan manusia sebagai aset paling berharga, hingga membina kedisiplinan pribadi dan membentuk tim yang kuat. Semua ini membutuhkan komitmen, latihan, dan keteladanan.

Sebagaimana kutipan bijak dari Seneca:

“Jika orang tidak tahu pelabuhan mana yang ia tuju, segala arah mata angin adalah benar.”

Seorang pemimpin harus tahu ke mana ia dan timnya akan menuju. Tanpa arah, segala usaha akan sia-sia. Namun dengan visi dan kepemimpinan yang tepat, tantangan apa pun dapat diubah menjadi peluang.

Share:

Facebook
LinkedIn

Table of Contents